Pages

Tuesday, December 3, 2013

Zakat: Siapa Yang Butuh?



Coba kita bandingkan antara zakat dan pajak. Pajak sangat banyak sekali, dan besarnya tergantung dari jenis pajaknya, mulai dari 10% - 25%. Pembayarannya pun bisa tiap bulan atau tiap kita membeli sesuatu. Sedangkan zakat hanya ada dua, zakat fitrah dan zakat mal. Itupun hanya dibayar setahun sekali. Lalu, uang dari pajak kita tidak terjamin untuk kesejahteraan negara, ada yang dikorupsi, dan ada pula yang dihamburkan. Sedangkan zakat sudah pasti terjamin sampai ke tangan penerima. Tapi kenapa masih banyak dari kita yang tidak mau atau mungkin lupa untuk mengeluarkan zakatnya?

Permasalahan zakat sebenarnya bukan hanya dari jumlah orang yang mengeluarkannya, tapi juga dari penyalurannya. Banyak dari kita yang masih tidak mengerti bagaimana cara menyalurkannya yang baik dan benar. Sehingga menimbulkan masalah selanjutnya yang lebih besar. Juga, masih banyak dari kita yang tidak mengerti siapa yang sebenarnya membutuhkan zakat, kita atau penerima zakat.

Pertama, kita harus mengerti apa makna dari pengeluaran zakat dan siapa yang sebenarnya membutuhkan zakat. Zakat merupakan kotoran. Kotoran dari apa? Yaitu kotoran dari harta-harta kita. Lalu apa yang kita lakukan pada kotoran tersebut? Jelas kita harus membuangnya kan? Apa yang akan terjadi jika kita menyimpan kotoran kita begitu lama? Jelas kita akan terkena penyakit. Lalu kenapa kita membuat seolah, merekalah para penerima zakat yang membutuhkan zakat? Saatnya kita mengubah pola pikir kita, berhentilah menganggap mereka yang membutuhkan zakat kita. Tapi kitalah yang membutuhkan zakat. Kitalah yang perlu membuang kotoran, bukan mereka yang perlu menerima kotoran dari kita.

Setelah kita mengetahui makna dari zakat itu sendiri, dan mengetahui siapa yang sebenarnya membutuhkan zakat, yang berikutnya kita perlu ubah adalah sistem penyampaian zakat kita. Apa yang salah dari sistem kita? Yaitu kita malah memanggil orang miskin untuk ke rumah kita. Bukan sebaliknya, kita yang menghampiri rumah si miskin. Itu yang salah dari sistem kita. Dan itulah yang menyebabkan masalah berikutnya bermunculan tanpa henti. Mulai dari korban jiwa, luka berat, hingga luka ringan. Padahal semua masalah itu bisa dihindari jika kita mau membagikan sendiri zakat tersebut ke orang yang membutuhkan. Tapi, sampai sekarang kita masih enggan membagikan sendiri zakat kita. Banyak sekali alasannya, mulai dari tidak mau berbaur dengan orang miskin, malas untuk berjalan jauh, dan alasan lainnya. Padahal, dengan membagikan sendiri zakat kita, kita bisa tahu bagaimana keadaan orang miskin yang sebenarnya. Kita bisa merasakan sendiri bagaimana penderitaan mereka.

Mulai sekarang, marilah kita perbaiki sistem kita. Kita kembalikan lagi sistem kita ke sistem yang dari dulu sudah diatur sedemikian rapi dan bagus oleh Allah dan Nabinya. Kita rasakan penderitaan mereka, kita telusuri bagaimana kehidupan mereka sebenarnya. InsyaAllah hati kita akan semakin terbuka dalam menerima perbedaan ekonomi yang ada disekitar kita.

Khutbah Jum'at 8 November: Tingkatan Umat Islam

Dalam agama islam, derajat setiap orang sama di hadapan Allah. Baik dia miskin ataupun kaya. Dia kuat ataupun lemah. Di mata Allah semuanya sama. Hanya satu yang membedakan, yaitu tingkat ketakwaannya. Maka dari itulah kata “muslim” dibedakan dengan kata “mukmin”. Muslim adalah orang-orang yang memeluk agama islam. Tapi, muslim belum berarti dia mukmin. Karena mukmin sendiri berarti orang yang beriman. Orang yang memeluk agama islam belum berarti dia beriman sepenuhnya kepada Allah. Tapi orang yang beriman kepada Allah sudah pasti ia muslim. Jadi, muslim adalah tingkatan terendah dari pemeluk agama islam. Tapi muslim yang seperti apa dulu yang paling rendah, karena muslim pun masih dibagi menjadi tiga. Orang yang mendzalimi diri sendiri (dzalimulinafsih), Orang yang berada di pertengahan (muqtasid), dan orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul bil khairat). Termasuk yang manakah anda?

Pertama, orang yang mendzalimi diri sendiri. Kenapa mereka disebut mendzalimi diri sendiri? Mungkinkah ada orang yang suka mendzalimi dirinya sendiri? Ya, ada. Tapi mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang mendzalimi diri sendiri. Orang-orang yang suka meninggalkan shalat, meninggalkan puasa, tidak bersedekah, dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya, inilah orang yang Allah sebut orang yang mendzalimi diri sendiri. Karena jika mereka tidak mau shalat, tidak mau puasa, dan tidak mau bersedekah, merekalah yang sebenarnya merugi. Allah tidak membutuhkan shalat mereka, karena masih banyak kok orang yang mau shalat. Allah juga tidak membutuhkan sedekah mereka, karena bukan Allah yang mereka beri sedekah. Merekalah yang sebenarnya membutuhkan ibadah kepada Allah, tapi mereka tidak sadar. Mereka kira Allah menyuruh mereka beribadah karena Allah yang membutuhkan ibadah itu. Padahal Allah sama sekali tidak butuh ibadah mereka. Bahkan seandainya tidak ada manusia yang beribadah kepada Allah, Allah pun masih memiliki malaikat yang mau beribadah kepadanya tanpa henti dan tanpa mengingkari.

Lalu, tingkatan yang kedua adalah muqtasid atau orang yang berada dipertengahan. Bagaimana orang yang berada di pertengahan ini? Mereka adalah orang yang mengerjakan amal kebaikan, tapi juga melakukan dosa sekali-kali. Orang-orang yang seperti ini masuk surga atau tidaknya akan ditentukan oleh timbangan amal kebaikannya. Jika amal kebaikannya lebih berat, maka ia akan masuk surga. Sedangkan jika amal buruknya yang lebih banyak, ia akan masuk neraka. Dan jika amal kebaikan dan keburukannya setimbang beratnya, ia akan berada di Al A’raf yaitu tempat tertinggi yang berada di antara surga dan neraka.

Yang terakhir yaitu tingkatan yang tertinggi adalah sabiqun bil khairat atau orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan. Orang inilah yang sudah Allah jamin masuk surga. Orang inilah yang jika diajak melakukan kejahatan atau perbuatan dosa ia akan menolaknya. Dan orang inilah yang hidupnya setiap hari selalu diisi dengan beribadah kepada Allah.

Marilah kita berdoa, supaya kita termasuk kedalam golongan orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan. Dan juga supaya kita dijaga oleh Allah dari perbuatan-perbuatan dosa. Agar kita mendapatkan ridhonya untuk masuk ke surganya. Amin

Puasa: Menahan Lapar Aja Ada Aturannya



Sebelum kita membahas apa itu puasa, ada baiknya kita melihat orang yang diet mati-matian untuk menguruskan badan. Coba lihat juga orang yang tidak berkecukupan sehingga makan saja kadang hanya 2 hari sekali. Lalu, lihatlah orang yang berpuasa. Mereka sama-sama tak makan, kadang juga sama-sama tidak minum. Tapi apakah orang yang diet tadi dan orang miskin tadi kegiatannya bisa kita sebut puasa? Tidak, mereka tidak bisa disebut puasa. Karena puasa itu ada aturannya, ada batas waktunya, dan mengandung nilai ibadah yang ikhlas lillahi ta’ala.

Puasa itu memiliki aturan. Apa saja aturannya itu? Pertama, sebelum kita puasa kita harus suci dari hadas besar. Itulah kenapa orang yang haid dan orang yang sedang junub tidak diperkenankan puasa sampai mereka suci dari haid dan junubnya. Kedua, selain menahan lapar dan haus, kita juga harus menahan hawa nafsu. Mungkin orang yang diet dan orang yang miskin di atas tadi menahan lapar dan haus juga. Tapi apa mereka juga menahan hawa nafsu? Ketiga, puasa tidak bisa kita lakukan setiap hari atau sepanjang tahun. Karena ada hari-hari yang dilarang untuk berpuasa. Itulah sebagian aturan saat kita berpuasa.

Puasa itu terbatas oleh waktu. Kita mulai puasa begitu azan subuh terdengar dan kita akhiri begitu azan maghrib terdengar. Bahkan nabi pun pernah bersabda, lambatkanlah sahurmu dan cepatkanlah berbuka. Ini artinya, kita mesti sahur dekat dengan waktu subuh dan kita harus cepat-cepat berbuka begitu azan maghrib terdengar. Tidak boleh kita sengaja tidak sahur apalagi menunda-nunda waktu berbuka dengan harapan pahala kita ditambah. Karena sama saja, kau tidak sahur dan menunda-nunda waktu berbuka, pahala kita pun tetap sama. Kenapa Rasulullah menganjurkan seperti ini? Karena Rasulullah tahu tubuh kita punya hak tersendiri, yang jika tidak kita penuhi tubuh kita akan mengatakannya sendiri kepada kita dengan yang namanya rasa sakit. Selain terbatas oleh waktu mulai dan berakhirnya puasa, puasa juga terbatas waktu hariannya. Puasa tidak bisa kita lakukan tiap hari karena ada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa. Contoh hari yang diharamkan untuk berpuasa yaitu hari jum’at, hari raya idul fitri, hari raya idul adha, dan lainnya. Maka dari itulah kita tidak diperbolehkan puasa sepanjang tahun.

Setiap ibadah yang kita laksanakan pasti memiliki nilai tersendiri, dan punya hikmah tersendiri. Lalu, apa hikmah yang tersembunyi dari ibadah puasa kita? Mungkin sebagian dari anda ada yang menjawab untuk merasakan penderitaan orang yang miskin yang tidak bisa makan. Nah, sekarang hapuslah jawaban yang seperti itu, jawaban seperti itu sudah tidak berlaku lagi di zaman seperti ini. Kenapa? Pertama, apakah orang yang miskin bisa menikmati barang yang mewah? Apakah orang miskin bisa merasakan tidur di ranjang yang empuk, kemana-mana menggunakan kendaraan pribadi dan supir pribadi, dan punya televisi untuk mereka tonton selagi menunggu azan? Karena itulah, hapuslah jawaban “puasa untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi orang miskin”. Munafik jika ada orang yang bilang seperti itu. Meskipun puasa ribuan tahun pun kita tak akan pernah merasakan penderitaan orang yang miskin. Jadi, apa hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil dari ibadah puasa? Yaitu pelajaran kesabaran. Allah menyuruh kita untuk berpuasa untuk menguji kesabaran kita. Sampai dimana kita bisa sabar menunggu datangnya waktu berbuka. Sampai di mana kita sabar demi ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah. Dan akhirnya terbukti, banyak di antara kita yang tidak mampu bersabar. Apa buktinya? Saat ramadhan, di siang hari ternyata masih banyak rumah makan yang penuh pembeli. Hanya saja, bedanya dengan hari-hari biasa mereka makan sambil sembunyi-sembunyi. Mereka takut orang lain melihat mereka, tapi na’uzubillah mereka tidak takut bahwa Allah melihat mereka.
Nah, sekarang coba kita bandingkan kembali orang yang berpuasa, orang yang menjalankan diet, dan orang yang tidak bisa makan karena kemiskinannya. Apakah orang yang diet punya batasan waktu berpuasa? Tidak, mereka bisa berbuka kapan saja. Apakah orang yang miskin punya aturan berpuasa? Tidak, mereka punya aturan tersendiri, tidak ada uang tidak makan. Dan yang terakhir, apakah orang yang diet dan orang yang memang tidak bisa makan punya nilai ibadah dan hikmah tersendiri saat mereka tidak makan? Ternyata, untuk tidak makan saja ada aturannya dalam islam.